Jika Konflik Antara Suami Isteri Semakin Memanas?
KITAB NIKAH
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Apa Yang Harus Dilakukan Jika Konflik Antara Suami Isteri Semakin Memanas?
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” [An-Nisaa’: 35]
Semua langkah-langkah yang telah kami sebutkan di atas adalah jika nusyuz tersebut belum sampai ke titik akut. Adapun jika nusyuz telah nampak dengan jelas, maka janganlah menerapkan langkah tadi, karena tidak ada manfaatnya dan tidak ada hasilnya. Itu hanyalah pertengkaran dan peperangan antara dua pihak yang ingin saling menghancurkan. Dan ini bukanlah yang dimaksud dan diinginkan. Demikian pula apabila dilihat bahwa menggunakan langkah tersebut tidak akan berhasil bahkan persengketaan semakin genting dan kedurhakaan semakin memuncak serta akan merobek jahitan yang masih tersisa atau bila penggunaan langkah tersebut akan berakibat kegagalan, maka dalam keadaan seperti ini metode Islam yang bijaksana telah mengisyaratkan untuk menggunakan tindakan pamungkas dalam rangka menyelamatkan ikatan keluarga yang agung ini dari kehancuran.
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَا
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.” [An-Nisaa’4/: 35]
Demikianlah, Islam tidak menyuruh kita menyerah dan membiarkan nusyuz terjadi dalam keluarga begitu saja, sebagaimana Islam juga tidak menganjurkan kita untuk segera memutuskan akad pernikahan dan melepaskan ikatan keluarga yang di dalamnya ada anggota keluarga lain yang tidak berdosa. Ikatan keluarga memiliki kedudukan yang mulia dalam Islam, karena memiliki peran yang penting dalam pembangunan masyarakat dan generasi yang akan melanjutkannya.
Apabila ditakutkan akan terjadi perpecahan, maka dengan segera langkah yang terakhir ini harus ditempuh, yaitu dengan mengirimkan seorang hakam (juru damai) dari kedua belah pihak. Kemudian keduanya berkumpul dalam suasana tenang, jauh dari emosi dan rasa benci yang akan dapat memperkeruh kejernihan hubungan antara suami isteri. Keduanya harus jauh dari pengaruh-pengaruh jelek karena akan dapat memperkeruh permasalahan. Sebaliknya, pertemuan mereka seharusnya didorong oleh rasa kasih sayang terhadap anak-anak dan berlepas diri dari keinginan memenangkan salah satu pihak, akan tetapi didasari atas keinginan terwujudnya kembali keharmonisan keluarga yang terancam kehancuran.
Dalam waktu yang bersamaan mereka juga harus amanah dalam menjaga rahasia suami isteri, karena keduanya termasuk bagian dari keluarga mereka. Janganlah mereka menyebar-luaskannya, karena hal itu tidak ada manfaatnya, bahkan kemaslahatan mereka berdua tergantung pada mengubur dan menutup rapat rahasia ini.
Kedua hakam itu berkumpul untuk mencoba mewujudkan perdamaian. Dan jikalau dalam jiwa kedua suami isteri tersebut terdapat keinginan yang kuat untuk melaksanakan perdamaian, sedangkan tidaklah menghalangi keinginan tersebut kecuali perasaan emosi saja, maka dengan bantuan dua hakam yang juga memiliki tekad yang kuat untuk melakukan perdamaian, Allah Ta’ala akan memberikan taufik kepada keduanya. “Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan kebaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu.” Dikarenakan kedua belah pihak saling menginginkan perdamaian, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan keinginan tersebut serta memberikan taufik kepada keduanya. “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” [1]
Mengapa Engkau Mengharamkan Apa Yang Telah Dihalalkan Oleh Allah Untukmu?
Dari Anas Rahiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai seorang budak wanita yang beliau gauli, namun ‘Aisyah dan Hafshah selalu protes sampai kemudian beliau mengharamkan hamba sahaya tersebut atas dirinya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan firman-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ ۖ تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu, (dengan sebab) kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [At-Tahrim/66: 1] [2]
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Jika seorang suami mengharamkan isteri atas dirinya, maka hal itu termasuk sumpah yang harus dibayar kafaratnya [3] . -Kemudian ia membaca firman Allah Ta’ala-: (( لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ )) “Sesungguhnya dalam diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik.” [4]
Maka barangsiapa yang berkata kepada isterinya, “Engkau haram bagiku.” Ia harus membayar kafarat karena sumpahnya. Yang demikian itu disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الْأَيْمَانَ ۖ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ ۖ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ۚ ذَٰلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ ۚ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja, maka kafarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikian Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur(kepada-Nya).[Al-Maa-idah/5: 89]
Al-Iila’ (Sumpah Seorang Suami Bahwa Ia Tidak Akan Berkumpul Dengan Isterinya)
Apabila seorang suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya selama kurang dari empat bulan, maka yang lebih utama baginya adalah untuk membayar kafarat atas sumpahnya, kemudian ia mencampurinya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَلْيَأْتِ الَّذِيْ هُوَ خَيْرٌ وَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ.
Barangsiapa yang bersumpah terhadap suatu hal, kemudian ia melihat sesuatu yang lebih baik daripada sumpahnya, maka lakukanlah apa yang lebih baik itu kemudian bayarlah kafarat sumpahnya.” [5]
Apabila suami tidak mau membayar kafarat, maka bagi isteri untuk sabar hingga jangka waktu yang telah disebutkan oleh suami. Disebutkan dalam sebuah riwayat:
آلَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَائَهُ وَكَانَتْ انْفَكَّتْ رِجْلُهُ فَأَقَامَ فِي مَشْرُبَةٍ لَهُ تِسْعًا وَعِشْرِينَ ثُمَّ نَزَلَ، فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ: آلَيْتَ شَهْرًا، فَقَالَ: الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ.
“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersumpah untuk tidak mencampuri isteri-isteri beliau. Kemudian beliau tinggal di masyrubah (tempat khusus beliau untuk menyendiri) selama dua puluh sembilan hari lalu beliau keluar. Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, engkau telah bersumpah Iila’ selama satu bulan?” beliau menjawab, “Satu bulan adalah dua puluh sembilan hari.” [6]
Adapun jika suami bersumpah tidak mau mencampuri isteri untuk selamanya atau selama lebih dari empat bulan, maka jika ia mau membayar kafarat dan kembali mencampurinya tidaklah mengapa, namun jika tidak, seorang isteri harus menunggu sampai empat bulan kemudian setelah itu ia minta dicampuri atau dicerai, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ ۖ فَإِن فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Kepada orang-orang yang mengilaa’ isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber’azam (berketetapan hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al-Baqarah/2: 226-227]
Dari Nafi’ bahwasanya Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma pernah berkata tentang Iila’ yang disebutkan oleh Allah, “Tidak boleh bagi suami apabila telah selesai masa iila’ kecuali untuk kembali memegang isteri dengan ma’ruf atau mencerainya, sebagaimana yang telah diperintah oleh Allah Azza wa Jalla.[7]
Zhihar (Ucapan Seorang Suami kepada Isterinya Bahwa Ia Seperti Zhahr (Punggung) Ibunya)
Barangsiapa yang berkata kepada isterinya, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku,” maka berarti ia telah melakukan zhihar. Sehingga isterinya menjadi haram baginya. Ia tidak boleh mencampurinya ataupun bersenang-senang dengannya sampai ia mau membayar kafarat atas sumpah zhiharnya dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Kitab-Nya:
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِن نِّسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا ۚ ذَٰلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا ۖ فَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ۚ ذَٰلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۗ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.” [Al-Mu-jaadilah/58: 3-4]
Dari Khaulah binti Malik bin Tsa’labah, ia berkata:
ظَاهَرَ مِنِّي زَوْجِي أَوْسُ بْنُ الصَّامِتِ فَجِئْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشْكُو إِلَيْهِ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجَادِلُنِي فِيهِ وَيَقُولُ: اتَّقِي اللهَ فَإِنَّهُ ابْنُ عَمِّكِ. فَمَا بَرِحْتُ حَتَّى نَزَلَ الْقُرْآنُ ((قَدْ سَمِعَ اللهَ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا)) إِلَى الْفَرْضِ، فَقَالَ: يُعْتِقُ رَقَبَةً. قَالَتْ: لاَ يَجِدُ، قَالَ: فَيَصُومُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ، قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ شَيْخٌ كَبِيرٌ مَا بِهِ مِنْ صِيَامٍ، قَالَ: فَلْيُطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا، قَالَتْ: مَا عِنْدَهُ مِنْ شَيْءٍ يَتَصَدَّقُ بِهِ، قَالَتْ: فَأُتِيَ سَاعَتَئِذٍ بِعَرَقٍ مِنْ تَمْرٍ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، فَإِنِّي أُعِينُهُ بِعَرَقٍ آخَرَ، قَالَ: قَدْ أَحْسَنْتِ اذْهَبِي فَأَطْعِمِي بِهَا عَنْهُ سِتِّينَ مِسْكِينًا وَارْجِعِي إِلَى ابْنِ عَمِّكِ. قَالَ: وَالْعَرَقُ سِتُّونَ صَاعًا.
“Suamiku, Aus bin Shamit telah mengucapkan zhihar kepadaku, maka aku menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengadukan hal ini, akan tetapi beliau membantah dan berkata, ‘Takutlah engkau kepada Allah, sesungguhnya ia adalah anak pamanmu.’ Setelah selang beberapa lama turunlah firman Allah Ta’ala: ‘Sungguh Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya,’ (Mujadilah: 1). Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah ia membebaskan hamba sahaya.’ Khaulah berkata, ‘Ia tidak dapat melakukannya.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut,’ Khaulah menjawab, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia telah tua sehingga tidak mampu berpuasa.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Maka ia harus memberi makan enam puluh orang miskin’ Khaulah berkata, ‘Ia tidak memiliki sesuatu untuk bersedekah.’ Tidak lama kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dengan membawa sekeranjang kurma. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku akan menolongnya dengan satu ‘araq (keranjang) kurma lagi.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda, ‘Engkau telah berbuat kebaikan, maka berilah makan atas nama dirinya kepada enam puluh orang miskin dan kembalilah kepada anak pamanmu.’” Dan satu ‘araq adalah enam puluh sha’.[8]
Dari ‘Urwah bin az-Zubair Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “‘Aisyah berkata:
تَبَارَكَ الَّذِي وَسِعَ سَمْعُهُ كُلَّ شَيْءٍ إِنِّي َلأََسْمَعُ كَلاَمَ خَوْلَةَ بِنْتِ ثَعْلَبَةَ وَيَخْفَى عَلَيَّ بَعْضُهُ وَهِيَ تَشْتَكِي زَوْجَهَا إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ تَقُولُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَكَلَ شَبَابِي وَنَثَرْتُ لَهُ بَطْنِي حَتَّى إِذَا كَبِرَتْ سِنِّي وَانْقَطَعَ وَلَدِي ظَاهَرَ مِنِّي، اللّهُمَّ إِنِّي أَشْكُو إِلَيْكَ. فَمَا بَرِحَتْ حَتَّى نَزَلَ جِبْرَائِيلُ بِهَؤُلاَءِ اْلآيَاتِ ((قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ)).
‘Maha Suci Allah Yang Pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu, sesungguhnya aku telah mendengar perkataan Khaulah binti Tsa’labah akan tetapi aku tidak mendengar sebagiannya. Ia mengadu tentang suaminya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, ia telah menikmati masa mudaku dan membuat banyak anak dari perutku, namun setelah aku menjadi tua dan tidak dapat beranak lagi ia mengucapkan zhihar kepadaku. ya Allah, aku mengadukan nasib ini kepada-Mu.’ Maka tidak lama kemudian Malaikat Jibril turun dengan membawa wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala : ‘Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatkan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah.`[Al-Mujaadilah/58: 1].’” [9]
Barangsiapa yang mengucapakan zhihar kepada isterinya sehari, sebulan atau lebih, dengan mengatakan, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku selama satu bulan,” maka ia telah melakukan zhihar, jika ia memenuhi sumpahnya tersebut, maka tidaklah mengapa, namun jika ia mencampurinya sebelum masa yang ia sebutkan selesai, maka ia harus membayar kafarat atas sumpah zhiharnya.
Dari Salmah bin Shakhr al-Bayadhi, ia berkata:
كُنْتُ امْرَأً أَسْتَكْثِرُ مِنَ النِّسَاءِ لاَ أَرَى رَجُلاً كَانَ يُصِيبُ مِنْ ذَلِكَ مَا أُصِيبُ فَلَمَّا دَخَلَ رَمَضَانُ ظَاهَرْتُ مِن امْرَأَتِي حَتَّى يَنْسَلِخَ رَمَضَانُ فَبَيْنَمَا هِيَ تُحَدِّثُنِي ذَاتَ لَيْلَةٍ انْكَشَفَ لِي مِنْهَا شَيْءٌ فَوَثَبْتُ عَلَيْهَا فَوَاقَعْتُهَا، فَلَمَّا أَصْبَحْتُ غَدَوْتُ عَلَى قَوْمِي فَأَخْبَرْتُهُمْ خَبَرِي وَقُلْتُ لَهُمْ: سَلُوا لِي رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا مَا كُنَّا نَفْعَلُ إِذًا يُنْزِلَ اللهُ عزوجل. فِينَا كِتَابًا أَوْ يَكُونَ فِينَا مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَوْلٌ فَيَبْقَى عَلَيْنَا عَارُهُ وَلَكِنْ سَوْفَ نُسَلِّمُكَ لِجَرِيرَتِكَ اذْهَبْ أَنْتَ فَاذْكُرْ شَأْنَكَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فَخَرَجْتُ حَتَّى جِئْتُهُ فَأَخْبَرْتُهُ الْخَبَرَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَنْتَ بِذَاكَ؟ فَقُلْتُ: أَنَا بِذَاكَ وَهَا أَنَا يَا رَسُولَ اللهِ صَابِرٌ لِحُكْمِ اللهِ عَلَيَّ قَالَ فَأَعْتِقْ رَقَبَةً، قَالَ: قُلْتُ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أَصْبَحْتُ أَمْلِكُ إِلاَّ رَقَبَتِي هَذِهِ، قَالَ: فَصُمْ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ. قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ وَهَلْ دَخَلَ عَلَيَّ مَا دَخَلَ مِنَ الْبَلاَءِ إِلاَّ بِالصَّوْمِ، قَالَ: فَتَصَدَّقْ أَوْ أَطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا، قَالَ: قُلْتُ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَقَدْ بِتْنَا لَيْلَتَنَا هَذِهِ مَا لَنَا عَشَاءٌ، قَالَ: فَاذْهَبْ إِلَى صَاحِبِ صَدَقَةِ بَنِي زُرَيْقٍ فَقُلْ لَهُ فَلْيَدْفَعْهَا إِلَيْكَ وَأَطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا وَانْتَفِعْ بِبَقِيَّتِهَا.
“Aku adalah laki-laki yang mempunyai hasrat besar kepada wanita tidak seperti orang lain. Ketika bulan Ramadhan aku pernah menzhihar dengan niat sampai usainya bulan Ramadhan. Pada suatu malam ketika isteriku melayaniku tiba-tiba ia singkapkan kain yang menutup sebagian dari tubuhnya kepadaku, maka aku pun mendudukkannya dan bersetubuh dengannya. Dan paginya aku pergi menemui kaumku lalu aku beritahukan mengenai diriku kepada mereka. Kemudian aku berkata kepada mereka, ‘Tolong tanyakan tentang perihalku kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Akan tetapi mereka menjawab, ‘Kami tidak akan melakukannya, karena kami takut Allah Azza wa Jalla akan menurunkan firman-Nya tentang kami atau ada sabda dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kami sehingga kami menjadi tercela selamanya. Tetapi pergilah engkau sendiri dan lakukanlah apa yang baik menurutmu.’ Maka aku pun langsung berangkat menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian aku ceritakan tentang hal itu kepada beliau. Beliau pun bertanya, ‘Apakah benar engkau melakukan itu?’ ‘Ya, beginilah aku,’ jawabku. ‘Maka berikanlah keputusan kepadaku dengan hukum Allah Azza wa Jalla. Aku akan tabah menghadapinya.’ ‘Merdekakanlah budak,’ kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mendengar itu aku menjawab, ‘Demi Allah Yang telah mengutusmu dengan kebenaran, pagi ini hanya leherkulah yang aku miliki.’ Lalu beliau bersabda, ‘Kalau begitu puasalah dua bulan berturut-turut.’ Meneruskan ceritanya Sakhr mengatakan, aku pun berkata, ‘Ya Rasulullah, bukankah apa yang telah menimpaku ini tidak lain ketika aku sedang berpuasa?’ ‘Kalau begitu bersedekahlah’ kata beliau. ‘Demi Allah Yang telah mengutusmu dengan kebenaran, semalam suntuk kami bersedih hati karena malam tadi kami tidak makan.’ Lanjut Sakhr. Kemudian Rasulullah pun menasihatinya, “Pergilah engkau kepada siapa saja yang akan bersedekah dari Bani Zuraiq. Lalu katakanlah kepada mereka supaya memberikannya kepadamu, lalu dari sedekah itu berilah makan olehmu satu wasaq kurma kepada enam puluh orang miskin, sedang lebihnya pergunakanlah untuk dirimu dan keluargamu.’” [10]
Yang dapat diambil sebagai hukum dalam kisah ini bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari ucapan zhiharnya akan tetapi beliau mengingkari karena ia mencampuri isterinya sebelum masa yang ia tentukan selesai.
Hukum Zhihar
Hukum zhihar adalah haram karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifatinya sebagai perkataan yang munkar dan tercela.
Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنكُم مِّن نِّسَائِهِم مَّا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ ۖ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ ۚ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنكَرًا مِّنَ الْقَوْلِ وَزُورًا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ
“Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya bagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu-ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang munkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” [Al-Mujaadilah/58: 2]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Azh-Zhilaal (II/263, 264)
[]. Sanadnya Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 3695)], Sunan an-Nasa-i (VII/71).
[3]. Kafarat yaitu denda yang harus dibayar seseorang karena melanggar perintah agama seperti melanggar sumpah, dan lain-lain.
[4]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih Muslim (II/1100, no. 1473) dan ini adalah la-fazhnya, Shahiih al-Bukhari (IX/374, no. 5266).
[5]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6208)], Shahiih Muslim (III/ 1271, no. 1650), Sunan an-Nasa-i (VII/11), Sunan Ibni Majah (I/681, no. 2108).
[6]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 3233)], Shahiih al-Bukhari (IX/ 425, no. 5289), Sunan an-Nasa-i (VI/166), Sunan at-Tirmidzi (II/99, no. 685).
[7]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 2080)], Shahiih al-Bukhari (IX/426, no. 5290).
[8]. Hasan: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1934)] tanpa lafazh wal ‘Araqu, Sunan Abi Dawud (VI/301, no. 2199).
[9]. Shahih:[Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1678)], Sunan Ibni Majah (I/666, no. 2063).
[0]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1677)], Sunan Ibni Majah (I/665, no. 2062), Sunan Abi Dawud (VI/298, no. 2198), Sunan at-Tirmidzi (II/335, no. 1215) secara ringkas.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1043-apa-yang-harus-dilakukan-jika-konflik-antara-suami-isteri-semakin-memanas.html